Selasa, 21 Februari 2012

Jumat, 07 Oktober 2011




Pukul 15.45 wita perjalanan kami dimulai dari fakultas ekonomi tercinta untuk memfollow up hasil rapat selasa siang yang kami lakukan dari departemen Aksi dan Advokasi IMMAJ 2011/2012 menuju daerah tanjung, yakni perencanaan desa binaan kami sebagai bentuk aksi sosial kami sebagai mahasiswa dan kaum intelektual muda.
Kanda An Ras Triastuti yang dalam periode ini adalah pimpinan kami di IMMAJ FE-UH, Bung Rahmat Syarif koordinator Departemen Aksi dan Advokasi, Bung Fakhruddin “paey”, Bung M. Rizal Idhiel K, Bung Yasykur Suchairyawan dan saya Sendiri Puput P Sidik yang notabene anggota departemen Aksi dan Advokasi berangkat dengan mengendarai sepeda motor, kami ditemani teman- teman dari departemen pengkaderan yakni Bung Rahmansyah “chumbu”, Bung Iqbal Priatama dan Kanda Dhanty dari departemen Hubungan Masyarakat. Pukul 16.15 wita kami tiba di lokasi Desa binaan dalam agenda bertemu dengan warga dan adik- adik calon siswa sekolah sosial yang akan kami bina untuk mendata berapa jumlah calon siswa dan tingkat berapa mereka di sekolah umum. Daeng Sibo, Daeng Bollo, Kak ati dan warga lain telah menanti kedatangan kami sejak pukul 14.30 wita. Saya sempat terharu dan kaget melihat antusiasme warga dan adik- adik untuk  belajar bersama kami di sekolah sosial ini. “kenapa baru datang, dari tadi mi na tunggui ki dengan anak- anak” sambut daeng sibo melihat rombongan kami tiba. Kanda Tuty sebagai pimpinan kami menyalaminya dan mengucap kata maaf karena kami terlambat tiba dikarenakan lalulintas hari ini padat sekali.
Setelah sedikit berbincang Daeng Sibo mengarahkan kami dan anak- anak ke kediamannya untuk saling mengenal dan memulai pendataan.
Kami berencana mengajarkan dua mata pelajaran yakni Matematika dan Bahasa inggris. Bung Rahmat Syarif sempat tersenym malihat tingkahlaku para anak- anak di daerah itu, melihat antusiasme mereka, canda tawa mereka karena saling mencela sesama anak- anak, dan berbagai tingkah laku mereka. “jangan lama- lama tuty, mau ki pergi mengaji anak- anak di pinggir pantai jam enam” Daeng sibo memperingati pimpinan kami agar tidak berlama- lama dalam pendataan karena anak- anak mereka harus mengaji di daerah tanjung bayang yang jaraknya kira- kira 500 meter  dari kampung mereka. Adik- adik tadi adalah anak warga tanjung yang berbeda- beda tingkatan kelasnya disekolah umum, namun keriangan mereka tidak terbatas atas umur mereka. Kecil, besar tetap saja saling mencela. Keriangan mereka tak terbendung saat sore tadi.
Melihat tingkah mereka yang sedikit malu memperkenalkan diri mengingatkan saya ketika masih seumuran mereka, yang malu ketika harus berbicara dengan orang baru yang saya kenal. Sungguh sikap manusiawi anak- anak yang hanya berharap kebahagiaan kelak. Para calon penerus bangsa itu sungguh riang tak peduli masalah apa yang terjadi, karena mereka tak mengerti dan memang mereka masih kecil.
Pukul setengah enam sore kami membubarkan kerumunan anak calon pemimpin bangsa tersebut agar mereka dapat kembali kerumah masing- masing dan bersiap menuju masjid tempat TPA mereka. Mereka keluar dengan tertib dan menyalami kami satu persatu dan mengucapkan salam sebelum bubar. Setelah mereka semua pulang kami berdiskusi mengenai waktu mengajar kami yang cocok dengan waktu para anak tadi agar tidak mengganggu kegiatan rutin mereka. Disepakati setiap hari rabu sore  untuk belajar matematika dan kamis sore untuk belajar bahasa inggris.
Desa ini adalah daerah pesisir pantai yang pernah menjadi daerah terisolir beberapa waktu lalu. Padahal di sekeliling mereka sedang berlangsung megaproyek kawasan tanjung bunga seperti CBD tanjung, megaproyek Center Point Of Indonesia yang hanya berjarak kurang lebih 2 km saja. Pada saat itu PT. GMTD yang menjadi pengembang wilayah tersebut memagari  akses jalan mereka karena mengklaim tanah yang digunakan jalan itu adalah tanah mereka yang mereka beli dari warga untuk pengembangan wilayah dengan membangun property. Jalan itu merupakan akses mereka satu- satunya dengan jalan raya dan dunia luar, bagaimana jika dipagari, dimana mereka akan lewat untuk pergi bekerja, membeli kebutuhan pokok?. Pada saat itu salah seorang partisipan LBH mengarahkan senior kami dari SENAT MAHASISWA FE-UH untuk membantu mengadvokasi masalah mereka hingga akhirnya tuntutan mereka agar dibuatkan jalan walau kecil terwujud. Melalui senior kami itulah saya dan teman-teman IMMAJ mengenal warga desa dengan segala keramahan mereka. Sungguh kebahagiaan serasa mendapat keluarga baru ditanah rantau jauh dengan orang tua.
TO BE CONTINUED............